Pencabutan Hak Politik Calon Pejabat Publik di Momentum Pemilu
Utama

Pencabutan Hak Politik Calon Pejabat Publik di Momentum Pemilu

​​​​​​​Penuntut umum kerap mengajukan dalil untuk melindungi kepentingan publik untuk memperoleh pejabat publik yang bersih.

Moh Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Baca:

 

Hukum Tambahan

Hukuman tambahan diatur dalam Pasal 10 KUHP, berupa pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pencabutan hak politik merujuk pada pencabutan hak tertentu, khususnya pencabutan hak memilih dan dipilih diatur lebih lanjut dalam Pasal 35 KUHP.

 

Dalam kasus tipikor, sebenarnya ada pidana tambahan lain yang bisa dijatuhkan majelis hakim di luar KUHP. Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 telah mengatur pidana tambahan itu berupa pembebanan uang pengganti.

 

Sebagai pidana tambahan, maka pencabutan hak politik hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Jadi, tidak dapat berdiri sendiri tanpa didahului penjatuhan pidana pokok. Pidana tambahan berupa pencabutan hak politik yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada sejumlah pejabat publik dan politisi bukan tanpa alasan. Jika ditelusuri kembali dokumen tuntutan jaksa penuntut umum dalam persidangan kasus korupsi pejabat publik dan politisi yang didalamnya memuat tuntutan pidana tambahan pencabutan hak politik. Jaksa penuntut umum kerap mengajukan dalil untuk melindungi kepentingan publik untuk memperoleh pejabat publik yang bersih, baik secara komitmen terhadap pemberantasan korupsi maupun track record yang tidak pernah terjerat tindak pidana korupsi.

 

Hukumonline.com

 

Putusan MK

Polemik tentang hak politisi untuk maju ke panggung politik setelah mereka menjalani pidana juga tak dapat dilepaskan dari aspek konstitusionalitas. Inilah yang bisa dibaca dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Legislatif -sebelum diganti dengan UU No. 7 Tahun 2017- serta Pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah-sebelum diubah dnegan UU No. 23 Tahun 2014- tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

 

Melalui amar putusan yang sama, syarat-syarat tersebut diatur antara lain (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

 

Dalam pertimbangan MK menegaskan persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah yang mana tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, mengakibatkan warga negara seumur hidup tidak memiliki kesempatan untuk menduduki posisi sebagai pejabat publik melalui jalur pemilihan sehingga secara expressis verbis dianggap telah melanggar prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait