Pencabutan Hak Politik Calon Pejabat Publik di Momentum Pemilu
Utama

Pencabutan Hak Politik Calon Pejabat Publik di Momentum Pemilu

​​​​​​​Penuntut umum kerap mengajukan dalil untuk melindungi kepentingan publik untuk memperoleh pejabat publik yang bersih.

Moh Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Sementara untuk syarat mengumumkan ke publik terkait status seorang calon anggota legislatif yang merupakan mantan narapidana dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih, MK mengulang kembali pertimbangan dalam putusannya No. 14-17/PUU-V/2007 yang menyatakan kebebasan menentukan pilihan tidak sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang memikul segala resiko pilihannya.

 

Melalui putusan No. 4/PUU-VII/2009, MK memberikan catatan agar rakyat dalam memilih dapat lebih kritis menilai calon. MK memasukkan ketentuan bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena tidak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya.

 

Secara prinsip HAM, Komisioner Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Amirudin Al Rahab menerangkan bahwa, hak politik adalah hak yang sifatnya bisa dibatasi (derogable right). Oleh karena itu, sepanjang pidana tambahan pencabutan hak politik diterapkan berdasarkan putusan pengadilan yang independen dan berkekuatan hukum dan dan melalui pengaturan Undang-Undang yang keluar melalui proses yang demokratis. “Selama dua hal itu terpenuhi tida ada masalah,” ujar Amirudin kepada hukumonline, Rabu (29/1).

 

Baca:

 

Hak Asasi Manusia

Hak politik adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan hak politik adalah salah satu rumpun hak asasi manusia. Oleh karena itu tidak heran jika wacana pencabutan hak politik sering kali menemukan tantangannya jika diperhadapkan dengan HAM.

 

Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan pembatasan atau pencabutan hak asasi manusia hanya diperkenankan berdasarkan Undang-Undang. Tujuan pembatasan dan pencabutan hak asasi manusia ini adalah menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Pasal 28 J UUD 1945 mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 

Pencabutan hak politik aktif (memilih) atau pasif (dipilih) secara jelas diatur dalam pasal 35 ayat (1) KUHP. Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam aturan umum lainnya ialah hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; dan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Dengan demikian, basis hukum bagi hakim dalam memutuskan pencabutan hak politik telah sah karena ada dasar hukum setara dengan undang-undang, yaitu KUHP.

Tags:

Berita Terkait