Penjelasan tentang Perbedaan Peradi dengan Organisasi Advokat Lain
Pojok PERADI

Penjelasan tentang Perbedaan Peradi dengan Organisasi Advokat Lain

Dasar pengaturan tentang advokat harus dikembalikan kepada Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yakni badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
(Dari kiri ke kanan) Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi, Adardam Achyar dan Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi, Nikolas Simanjuntak. Foto: istimewa.
(Dari kiri ke kanan) Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi, Adardam Achyar dan Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi, Nikolas Simanjuntak. Foto: istimewa.

Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi)menjelaskan perbedaan antara Peradi dengan organisasi advokat lainnya. Hal ini menyusul terbitnya laporan penelitian Institute for Criminal Juctice Reform (ICJR) yang berjudul Menerapkan Standarisasi, Memperkuat Akuntabilitas, dan Nilai-Nilai Ideal Profesi Advokat: Studi Kelembagaan Organisasi Advokat di Indonesia.

 

Pada bagian rekomendasi laporan penelitian ICJR disebutkan bahwa, ”Organisasi advokat (OA) di Indonesia terus mengalami permasalahan kelembagaan yang menghambat upaya-upaya pencapaian mandatnya, utamanya untuk perbaikan kualitas advokat Indonesia. Saat ini setidaknya terdapat 51 OA.”

 

Kemudian pada catatan kaki laporan tersebut, ICJR menerangkan bahwa, “Berdasarkan data tertulis yang diterima ICJR dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI per 21 September 2022, sudah terdaftar sebanyak 46 organisasi (yang berbadan hukum yayasan dan perkumpulan yang mengandung nama ‘advokat’, per Mei 2023 menjadi 51 organisasi) yang dianggap sebagai organisasi advokat di Indonesia sebagaimana disampaikan secara lisan oleh Koordinator Jaminan Fidusia dan Hukum Perdata Umum Dirjen AHU Kemenkumham RI dalam wawancara pada 4 Mei 2023.”

 

Menurut Ketua Dewan kehormatan Pusat Peradi, Adardam Achyar, keberadaan 51 organisasi advokat, sebagaimana disebutkan dalam laporan ICJR, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

“UUA mengamanatkan hanya ada satu organisasi advokat, dan berdasarkan amanat UUA kemudian dibentuk Peradi yang memiliki segala kewenangan organisasi advokat,” ujar Adardam Achyar kepada Hukumonline, Kamis (27/7).

 

Dirinya menilai, ICJR telah keliru menempatkan fungsi dan kedudukan Peradi yang merupakan organ negara dalam arti luas, sama dengan fungsi dan kedudukan organisasi advokat lain yang merupakan organisasi atau perkumpulan yang dibentuk berdasarkan dan tunduk kepada UU Organisasi Kemasyarakatan (bukan UU Advokat) serta merupakan badan hukum privat.

 

Adardam Achyar melanjutkan, dalam rekomendasinya, ICJR tidak dapat membedakan antara organisasi advokat (Peradi) dalam konteks UU Advokat (sebagai organ negara dalam arti luas yang juga melaksanakan fungsi negara) dengan organisasi advokat dalam konteks perwujudan dari ‘prinsip kebebasan berserikat’ yang ditetapkan atau dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan diimplementasikan dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017.

Tags:

Berita Terkait