Perppu Pilkada Berpotensi Ciptakan Ketidakpastian Hukum
Aktual

Perppu Pilkada Berpotensi Ciptakan Ketidakpastian Hukum

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Perppu Pilkada Berpotensi Ciptakan Ketidakpastian Hukum
Hukumonline
Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, mengatakan penerbitan Perppu Pilkada oleh Presiden justru berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.

"Sebab, dalam hal Perppu dimaksud mendapatkan penolakan dari DPR, maka menurut pasal 52 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan Perppu itu menurut UU PPP harus dituangkan dalam RUU tentang Pencabutan Perppu," kata Said Salahudin, Sabtu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada) Menurut dia, Presiden Jokowi yang nantinya menggantikan Presiden SBY mungkin saja tidak mau memberikan persetujuannya terhadap penetapan RUU tentang pencabutan Perppu Pilkada.

"Padahal, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden agar bisa ditetapkan menjadi UU," kata dia.

Karena itu akan muncul potensi ketidakpastian hukum karena tidak mustahil akan terjadi deadlock. "Agar permasalahan Perppu Pilkada nantinya tidak menjadi perseteruan politik antara DPR dan Presiden yang bisa berdampak kepada ketidakpastian hukum penyelenggaraan Pilkada tahun 2015, maka menurut saya lebih tepat jika Perppu Pilkada tersebut diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum dimulainya masa persidangan DPR bulan Januari 2015," kata dia.

Sebagai lembaga peradilan, lanjutnya, MK sudah barang tentu terbebas dari kepentingan politik, sehingga dapat diandalkan untuk mencari solusi atas permasalahan Perppu itu.

Selain itu, ia mengatakan motif penerbitan Perppu Pilkada tidak selaras dengan kehendak konstitusi. Sebab, penerbitan Perppu oleh Presiden SBY lebih didasari karena adanya perbedaan pandangan politik antara Presiden yang menginginkan Pilkada langsung dan DPR yang menginginkan Pilkada melalui DPRD.

"Padahal, perbedaan sikap politik antara eksekutif dan legislatif seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan penerbitan Perppu untuk membatalkan UU," ujar dia.

Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Perppu hanya diperlukan apabila terdapat keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) atau UU yang ada dianggap tidak memadai, serta untuk mewujudkan kepastian hukum. Jadi, penerbitan Perppu seharusnya untuk keperluan itu, bukan karena adanya perbedaan pandangan politik.

Lebih dari itu, motif penerbitan Perppu yang dilandasi oleh adanya perbedaan pandangan politik dapat menjadi preseden buruk. "Sebab, presiden-presiden selanjutnya berpeluang mengulangi kembali kebijakan SBY yang mengeluarkan Perppu untuk mengalahkan UU karena pandangan politik presiden berbeda dengan DPR," kata dia.
Tags: