Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada
Kolom

Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada

Tulisan ini menyajikan problema hukum yang terjadi berkaitan dengan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan ke PTUN.

Bacaan 2 Menit

 

B. Permasalahan

Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.

 

Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.

 

C. Pembahasan

Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).

 

Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN  menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171).

 

Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya KTUN,  namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.

 

Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah selesai.

 

Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai. 

Tags: