Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada
Kolom

Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada

Tulisan ini menyajikan problema hukum yang terjadi berkaitan dengan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan ke PTUN.

Bacaan 2 Menit

 

Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.

 

Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum diatur proses hukum yang  berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.

 

Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima

 

Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan  asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan  yang umum maka yang khusus yang berlaku. Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-- ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.

 

Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi.

 

Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.

 

Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.

Tags: