Romo Stefanus Hendrianto SJ, Pastor Penggagas Kepahlawanan di Mahkamah Konstitusi
Wawancara

Romo Stefanus Hendrianto SJ, Pastor Penggagas Kepahlawanan di Mahkamah Konstitusi

Pola rekrutmen dan masa jabatan hakim di MK harus diubah untuk menjaring hakim-hakim berkualitas yang layak disebut judicial heroes.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Konsep heroisme tradisional menganggap hero atau pahlawan itu adalah orang-orang yang berani mati, berani mengorbankan diri, dan berani melawan musuh. Tetapi saat saya melihat lebih jauh ternyata konsep hero cukup kompleks. Para pengamat asing atau lokal pun kesulitan menilai pola kepemimpinan Pak Jimly. Berdasarkan pemikiran tradisional, di satu sisi dia cukup berani mengambil keputusan yang membatalkan kebijakan pemerintah, tapi dia juga sering mengambil langkah mundur untuk mengambil pendekatan yang lebih aman. Ternyata tidak ada pendekatan yang tepat untuk menganalisis pola kepemimpinan Pak Jimly. Maka saya menggali lebih dalam konsep pahlawan itu.

 

Di satu sisi, konsep judicial heroes itu untuk mereka yang berani menegakkan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik. Mereka berani membuat terobosan sehingga hak-hak konstitusional bisa ditegakkan. Konsep itu menjadi semacam standar baku untuk menilai heroisme hakim-hakim di berbagai yurisdiksi. Akan tetapi pada kasus Indonesia, saya melihat ada pendekatan berbeda yang dilakukan para hakim konstitusi kita.

 

Misalnya Pak Mahfud yang membuat penegakan hak sipil dan politik yang lebih konservatif di bawah kepemimpinannya. Akan tetapi untuk kasus-kasus yang lain, semisal kasus yang menyangkut administrasi negara, putusan MK di bawah Pak Mahfud cukup progresif. Lantas apakah Pak Mahfud bukan termasuk judicial heroes? Saya lihat tidak begitu. Masing-masing Ketua MK punya prioritas yang berbeda.

 

Dari mana gagasan soal judicial heroes berasal?

Ada konsep judicial activism dan judicial restraint yang berkembang di Amerika Serikat pada tahun 60an dan 70an. Tapi sekarang sudah agak ketinggalan karena para akademisi, pengamat, dan peneliti hukum di Barat sudah meninggalkan teori itu. Mereka sudah menggunakan pendekatan yang berbeda. Menurut saya sudah agak terbatas untuk menggunakan teori tersebut dalam kasus Indonesia. Misalnya sulit untuk memetakan sosok seperti Pak Jimly atau Pak Mahfud berdasarkan teori judicial activism dan judicial restraint.

 

Seperti yang saya kemukakan tadi, beberapa pengamat kesulitan menggunakan teori itu untuk kasus Indonesia. Maka saya ingin menggunakan teori baru. Teori judicial heroes bukan ide orisinal saya. Ide ini hasil diskusi dengan beberapa profesor. Profesor Mark Thusnet dari Harvard Law School adalah orang pertama yang memberikan ide pada saya tentang heroic court. Kemudian Professor Cass Sunstein, juga dari Harvard Law School menulis buku tentang berbagai macam hakim: heroes, burkean, dan judicial solider. Sunstein membedakan antara conservative heroes dan liberal heroes. Kemudian dari hasil diskusi dan membaca pemikiran mereka, saya mengembangkan teori baru tentang judicial heroes.

 

Basis pemikiran saya adalah konsep pahlawan dari Aristoteles. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics mengatakan ada dua model kepahlawanan yang berbasiskan two basic vitues: andrea (keberanian) dan sophrosune (keseimbangan/kehati-hatian). Model pertama diwakili oleh sosok pahlawan dalam mitologi Yunani Kuno, Achiles dan model kedua diwakili oleh sosok Odyseus. Berdasarkan pemikiran itu saya mengembangkan dua model heroisme: yang pertama saya sebut dengan model bold-aggressive hero dan yang kedua saya sebut prudential-minimalist hero. Teori ini yang kemudian saya terapkan untuk menganalisis kepemimpinan di Mahkamah Konstitusi.

 

Teori mengenai judicial heroes ini masih terus berkembang. Ada seminar di Hong Kong beberapa bulan lalu yang lebih memilih istilah towering judge untuk menyoroti para hakim yang menonjol. Saya sendiri lebih suka menggunakan istilah judicial heroes.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait