Romo Stefanus Hendrianto SJ, Pastor Penggagas Kepahlawanan di Mahkamah Konstitusi
Wawancara

Romo Stefanus Hendrianto SJ, Pastor Penggagas Kepahlawanan di Mahkamah Konstitusi

Pola rekrutmen dan masa jabatan hakim di MK harus diubah untuk menjaring hakim-hakim berkualitas yang layak disebut judicial heroes.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Apa peran penting para hakim yang heroik itu untuk pengembangan  Mahkamah Konstitusi kita?

Buku saya terbatas menganalisis heroisme Ketua MK, dalam arti saya tidak menganalisis semua hakim. Fokus saya lebih banyak mengulas kepemimpinan generasi pertama masa Pak Jimly dan generasi kedua masa Pak Mahfud. Meski demikian Pak Hamdan juga menunjukkan heroismenya dengan membangun Mahkamah Konstitusi yang berantakan setelah kasus Akil Mochtar. Beliau harus memimpin MK di masa yang cukup sulit, sayangnya kepemimpinannya cukup singkat.

 

Meski demikian saya berpikir para hakim yang heroik tidak hanya para ketua Mahkamah Konstitusi. Hakim seperti Bu Maria juga menunjukkan heroisme yang cukup berperan sebagai hakim perempuan. Misalnya terlihat dalam kontribusi pemikirannya untuk beberapa dissenting opinion. Peran heroisme tiap hakim secara individual juga penting. Mereka ikut membentuk Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga seperti sekarang. Sangat menarik untuk mendalami lebih jauh peran heroik individu masing-masing hakim konstitusi. Tapi saya belum sempat mendalaminya.

 

Akan tetapi memasuki generasi ketiga dan keempat, saya mengamati bahwa heroisme hakim-hakim MK semakin memudar, terutama karena kualitas para hakim yang hanya rata-rata saja. Salah satu masalahnya adalah masa jabatan hakim yang cuma lima tahun, sehingga sulit untuk menjaring hakim-hakim berkualitas dengan pola rotasi yang cukup cepat seperti itu.

 

Apa saran anda untuk rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi?

Masa jabatan lima tahun itu harus diubah karena terlalu singkat untuk kemudian pemilihan kembali. Bahkan berbahaya dan kontraproduktif bagi independensi hakim. Bisa jadi seorang hakim harus berhati-hati agar bisa terpilih kembali, sehingga dia harus berusaha untuk memuaskan pihak yang mengangkatnya. Kalau tetap ingin dibatasi, durasinya harus lebih panjang semisal seperti di Afrika Selatan yang satu kali jabatan selama 15 tahun.

 

Selain itu juga menjadi tugas pendidikan tinggi hukum di Indonesia untuk menghasilkan para pemikir yang lebih teruji. Saat ini memang ada syarat bahwa pendidikan tinggi hakim konstitusi harus doktor. Tapi tidak terlalu relevan karena mereka juga tidak harus doktor hukum tata negara. Justru pengalaman dan pemikiran mereka lebih penting.

 

Hukumonline.com

Stefanus Hendrianto SJ. Foto: RES

 

Pola rekrutmen adalah yang paling mendesak untuk diubah. Bisa kita bandingkan dengan di Amerika Serikat yang mempertimbangkan rating dari American Bar Association terhadap calon hakim federal. Jadi perlu ada pihak di luar pengusul calon hakim yang memberikan semacam rating. Bisa saja di Indonesia dilakukan oleh asosiasi pengajar hukum tata negara.

 

Di Indonesia yang paling tidak jelas standar rekrutmennya adalah calon dari Mahkamah Agung. Mereka tidak menjelaskan kriteria apa yang digunakan saat mengusulkan calon hakim konstitusi. Mereka mengusulkan calon dari internal mereka. Perlu ada standardisasi kriteria dari ketiga pihak pengusul calon hakim konstitusi. Kita lihat fit and proper test oleh Presiden dan DPR tidak sama ukurannya. Bahkan Mahkamah Agung tidak pakai fit and proper test.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait