Sartono, Meester in de Rechten di Kursi Pertama Ketua Parlemen Indonesia
Berita

Sartono, Meester in de Rechten di Kursi Pertama Ketua Parlemen Indonesia

Lulus dari Rijksuniversiteit Belanda, Sartono menjadi pengacara handal. Pernah menjadi Pejabat Presiden.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Sartono termasuk salah seorang putra bangsawan yang memilih bersekolah di Sekolah Hukum. Orang tuanya juga setuju. Apalagi saat itu gaji hakim atau pengacara terbilang tinggi, sekitar 150 gulden. Ketika berangkat naik kereta api ke Batavia (Jakarta), Sartono ditemani sang ayah. Stasiun terakhir kereta api saat itu adalah Kemayoran. Stasiun terdekat dengan tempat kuliah dan asrama mahasiswa adalah stasiun Gambir. Cukup naik naik sado menuju Koningplein Zuid 10, kini Medan Merdeka Selatan 10 –di samping Balaikota DKI Jakarta sekarang. Bersekolah di sini terikat pada disiplin yang tinggi. Pada 1916, Sartono resmi masuk Rechtsschool. Pada tahun yang sama, Sartono masuk perkumpulan Tri Koro Dharmo, yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java. Pemimpin organisasi ini adalah Djojodiguno.

Sartono lulus dengan baik pada 1921 dan mendapat gelar rechtskundige (ahli hukum). Setelah lulus Sartono bekerja sebagai pegawai di pengadilan (Landraad) di Surakarta. Namun pekerjaan ini hanya dijalaninya selama enam bulan. Lulusan Rechtsschool diberi kesempatan meneruskan sekolah di Leiden. Puluhan orang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah, antara lain R. Sudirman, R. Ng. Subroto, RP Notosubagio, R. Hadi, Alinuddin Enda Bumi, R. Kusumaatmaja, R. Susanto Tirtoprojo, Wirjono Prodjodikoro, R. Supomo dan N. Syarif Hidayat.

Sartono termasuk yang berangkat ke Belanda untuk melanjutkan kuliah hukum. Cuma, seperti tertulis dalam biografi ‘Mr. Sartono, Karya dan Pengadiannya’ (1985: 23), Sartono berangkat bersama Iwa Kusuma Sumantri ke Belanda pada September 1922 atas biaya sendiri. Di sini ia banyak bertemu dengan teman-temannya sesama lulusan Rechtsschool. Tempat tinggalnya beberapa kali pindah. Sartono juga aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). Sahabat dekatnya, Iwa Kusuma Sumantri, pernah menjadi pimpinan organisasi ini pada periode 1923-1924.

Kelulusan mahasiswa asal Indonesia yang kuliah hukum di Belanda berbeda-beda. Yang paling cepat lulus adalah Gondokusumo, karena dalam waktu enam bulan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr). Foto Sartono sebagaimana disinggung di bagian awal adalah momen yang berkaitan dengan ketika Gondokusumo dinyatakan lulus cumlaude. Sartono menyelesaikan kuliahnya di Leiden pada 1925. Setelah itu, ia kembali ke Indonesia.

Pengacara

Setelah berhasil meraih gelar Meester in de Rechten, Sartono kembali ke Indonesia. Di kota Bandung, ia menjalankan profesi advokat, membuka kantor hukum di Regentsweg 22 –sekarang Jalan Dewi Sartika Bandung, di bawah pimpinan Mr Iskaq Tjokrohadisuryo. Mereka menyewa paviliun rumah di lokasi itu sebagai kantor advokat sekaligus tempat tinggal. Selain Mr iskaq dan Mr Sartono, firma hukum itu diisi sarjana-sarjana hukum lulusan Belanda seperti Mr Budiarto Martoatmojo dan Mr Sunario.

Salah satu perkara yang pernah mereka tangani adalah tuduhan pemberontakan komunis yang menimpa seorang kondektur kereta api di Tasikmalaya. Berkat pembelaan Mr Sartono dan kawan-kawan, hukuman yang dijatuhkan Landraad terbilang enteng, meskipun sang kondektur akhirnya dibuang ke Digul. Perkara lain adalah tuduhan ikut pemberontakan komunisme yang menimpa seorang haji di Banten. Mereka membela dengan sungguh-sungguh, tetapi sang klien akhirnya dihukum mati.

Pada 1928, Mr Iskaq, Mr Sartono dan kawan-kawan melebarkan saya kantor hukum ke Jakarta. Mereka membuka kantor advokat di kawasan Pintu Kecil, Jakarta Kota. Mr Sartono, Mr Sunario, dan kemudian menyusul Mr Budiarto, diminta mengurus kantor cabang firma hukum itu.

Tags:

Berita Terkait