Sartono, Meester in de Rechten di Kursi Pertama Ketua Parlemen Indonesia
Berita

Sartono, Meester in de Rechten di Kursi Pertama Ketua Parlemen Indonesia

Lulus dari Rijksuniversiteit Belanda, Sartono menjadi pengacara handal. Pernah menjadi Pejabat Presiden.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Pada Juli 1948, Sartono ditunjuk menjadi Ketua Angket Komisi Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk menyelidiki kasus pemogokan Delanggu, dan diberi tugas menyelidiki hal-hal yang berhubungan dengan Badan Tekstil Negara. Kemudian, pada Desember 1948, Sartono memimpin Misi Jasa-Jasa Baik Republik Indonesia di Jakarta menuju Negara Indonesia Timur. Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Sartono menjadi penasehat umum delegasi Indonesia.

Sartono kemudian didaulat menjadi Ketua DPR ketika Indonesia berbentuk serikat (RIS). Ia menang lewat voting melawan M. Yamin dan A.M Tambunan. Sartono memperoleh 51 suara, Yamin 39 suara, sedangkan Tambunan mengundurkan diri. Wakil Ketua I DPR RIS terpilih adalah A.M. Tambunan, sedangkan Wakil Ketua II adalah Arudji Kartawinata. Presiden Soekarno mengesahkan hasil sidang pertama DPR-RIS itu pada 22 Februari 1950.

Setelah pemilu 1955 Sartono tetap duduk di kursi Ketua DPR hingga 1960. Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu pertama setelah kemerdekaan, dan memilih anggota parlemen baru yang disebut DPR Gotong Royong (DPR-GR). Mr Sartono termasuk yang menentang kebijakan Presiden Soekarno dalam Demokrasi Terpimpin. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Mr Sartono mengundurkan diri sebagai Ketua DPR pada 5 Maret 1960.

Pejabat Presiden

Selama karirnya di pemerintahan, Sartono tak hanya mengabdi sebagai Ketua DPR selama sepuluh tahun, ia juga menduduki beragam jabatan. Salah satu yang menarik dan tercatat dalam biografinya yang ditulis Nyak Wali AT dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985) adalah Sartono pernah dua kali menjadi Pejabat Presiden.

(Baca juga: Wirjono Prodjodikoro, Ensiklopedis Hukum di Kursi Ketua Mahkamah Agung).

Hukumonline menelusuri buktinya lewat Undang-Undang No.8 Tahun 1958. Ini adalah undang-undang mengenai Penetapan UU Darurat Nomor 9 tahun 1954 tentang Perubahan Nama Provinsi Sunda Kecil Menjadi Provinsi Nusa Tenggara. Pada bagian akhir Undang-Undang yang berisi dua pasal itu tertera nama Sartono yang menandatangani. “Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Februari 1958 Pejabat Presiden Republik Indonesia, ttd, Sartono”.

Penunjukan Sartono sebagai Pejabat Presiden tak lepas dari ketentuan Pasal 2 UU No. 29 Tahun 1957 tentang Pejabat yang Menjalankan Pekerjaan Jabatan Presiden Jika Presiden Mangkat, Berhenti, atau Berhalangan Sedang Wakil Presiden Tidak Ada atau Berhalangan. Ditegaskan bahwa yang ditunjuk untuk menjalankan pekerjaan dalam situasi presiden mangkat atau berhalangan adalah ketua parlemen.

Sartono juga pernah diangkat Presiden Soekarno menjadi Wakil Ketua DPA, setelah Sartono mundur sebagai Ketua DPR. Dalam Kabinet 100 Menteri, Sartono ditunjuk sebagai Menteri Kompartemen Hukum dan Dalam Negeri, yang membawahi Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

Tags:

Berita Terkait