Socio-Legal, Mengembalikan Hakikat Hukum yang Tak Sekadar Doktrin Normatif
Utama

Socio-Legal, Mengembalikan Hakikat Hukum yang Tak Sekadar Doktrin Normatif

Metode interdisipliner untuk mengetahui bagaimana hukum bisa efektif dalam praktiknya di masyarakat. Tidak sekadar membicarakan pemahaman normatif dalam teks hukum.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Tim menjelaskan bahwa studi hukum selalu berangkat dari pemahaman atas norma hukum positif, lalu penafsiran pengadilan, dan akhirnya praktik pelaksanaan hukum di masyarakat. Oleh karena itu, studi hukum tidak bisa lepas dari cara interdisipliner.

 

Dengan demikian metode kajian sosio-legal harusnya menjadi bagian dari studi hukum di setiap mata kuliah. “Harus ada keterpaduan semuanya di seluruh mata kuliah, sosio-legal tidak bisa menjadi satu mata kuliah tersendiri,” kata Tim.

 

Ia menyebutkan bahwa pembelajaran di Melbourne Law School selalu memadukan pemahaman normatif hukum positif dengan law in action.  “Kalau tidak begitu akan dikritik habis oleh mahasiswa atau sesama kolega dosen,” Tim menambahkan.

 

Kolega Tim sesama profesor hukum di Australia memberikan pandangan serupa. “Tidak ada gunanya kita membahas hukum murni yang hanya menjelaskan isi peraturan tanpa mempertimbangkan penerapannya dalam praktik,” kata Simon Butt dari University of Sydney.

 

Namun ini bukan berarti studi hukum meninggalkan pemahaman normatif dari hukum positif. Simon juga menjelaskan bahwa metode interdisipliner dalam studi hukum pun tidak terbatas pada apa yang disebut sebagai sosio-legal. “Tidak ada satu teori tunggal yang dianggap paling benar, semua didiskusikan untuk membahas hukum,” ujarnya.

 

Yuzuru Shimada, profesor hukum dari Nagoya University membagikan pengalaman Jepang dalam menggunakan kajian sosio-legal. “Seperti Indonesia, Jepang menerima undang-undang modern dari luar. Itu sekitar 150 tahun lalu di masa Meiji,” kata Yuzuru membuka penjelasannya.

 

Hanya saja, sejak awal Jepang sangat berhati-hati dalam menyesuaikan hukum dengan kenyataan di masyarakat. “Kadang kenyataan di masyarakat tidak sesuai dengan peraturan, maka kalau begitu peraturan yang harus mendekat,” katanya. Cara ini tidak menempatkan hukum sebagai dogma kaku.

Tags:

Berita Terkait