Tindakan OTT Juga Berlaku Bagi Aparat Penegak Hukum
Terbaru

Tindakan OTT Juga Berlaku Bagi Aparat Penegak Hukum

Tak ada perlakuan khusus bagi siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi, sekalipun aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. KPK memiliki kewenangan menyelidik, menyidik dan menuntut aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan korupsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Jerat hukum berlaku bagi siapapun yang diduga kuat melakukan kejahatan korupsi. Salah satunya, tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) termasuk bagi aparat penegak hukum yang diduga melakukan korupsi ataupun kejahatan/tindak pidana lain. Intinya, penegakan hukum berlaku bagi siapapun, tak terkecuali terhadap aparat penegak hukum.

“Tidak ada pengecualian kedudukan jabatan dalam hukum, siapapun bisa di-OTT. Tindakan OTT dimaknai sebagai represi kejahatan dan rule of law model,” ujar Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra kepada Hukumonline, Senin (22/11/2021). Pernyataan ini menanggapi pandangan Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan yang sempat mewacanakan agar aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim tidak layak dilakukan OTT dalam kasus dugaan korupsi.

Azmi mengingatkan prinsip persamaan setiap warga negara didepan hukum tanpa diskriminasi atau equality before the law sudah ditegaskan dalam konstitusi. Penegakan hukum tak memandang suku, agama, pangkat, dan jabatan. Asas hukum tersebut penegasan tak ada seorangpun yang kebal hukum termasuk polisi, jaksa, atau hakim sekalipun. “Sepanjang seseorang, sekalipun aparat/pejabat hukum bila melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau turut membantu tindak pidana dan diancam pidana tetap harus dimintai pertanggungjawabannya,” kata dia.

Makna frasa “tertangkap tangan” telah diatur Pasal 1 angka 19 KUHAP yang menyebutkan, “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.

Terdapat empat keadaan terhadap seseorang yang masuk kategori tertangkap tangan. Pertama, tertangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana. Kedua, tertangkapnya seseorang setelah beberapa saat melakukan tindak pidana. Ketiga, tertangkapnya seseorang sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Keempat, sesaat kemudian terhadap orang yang melakukan tindak pidana ditemukan benda yang ditengarai kuat digunakan untuk melakukan tindak pidana.

“Ini berlaku bagi siapapun yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian ditemukan alat bukti yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana,” lanjutnya.

Menurutnya, tindakan OTT masih diperlukan sebagai model penanggulangan kejahatan/tindak pidana yang memberikan mekanisme lebih mudah dalam penerapannya. Bahkan dalam hukum pidana, kejahatan yang dilakukan aparat penegak hukum sanksinya diperberat. “Jadi bila ada wacana bagi aparat hukum tidak bisa di-OTT dengan alasan sebagai pejabat simbol negara, ini harus dihindari,” katanya.

Terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menilai pandangan aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa dan hakim tak perlu dilakukan OTT, bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pasal 11 ayat (1) huruf a menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

“Makanya menjadi tak logis, bila aparat penegak hukum maupun penyelenggara negara yang ditengarai melakukan tindak pidana korupsi tidak di-OTT,” kata Nurul Ghufron.

Sementara Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni berpendapat tak boleh ada perlakuan khusus bagi aparat penegak hukum yang melakukan korupsi atau kejahatan lain karena asas equality before the law berlaku bagi siapapun. Bahkan, hukuman bagi aparat penegak hukum yang terbukti melakukan korupsi diganjar hukuman yang diperberat.

“Jangankan penegak hukum, petinggi negara saja tidak ada yang kebal hukum. Karena itu saya tidak setuju dengan pernyataan itu, siapapun itu kalau korupsi ya ditangkap bagaimanapun metodenya termasuk OTT,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara.

“Tidak ada agenda, apalagi pembahasan mengenai jaksa, polisi, hakim yang tidak bisa di-OTT. Itu hanya pandangan pribadi, tidak ada kaitannya dengan Komisi III DPR,” kata Sahroni.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan sempat melontarkan wacana agar aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim tidak layak dijerat dengan OTT dalam kasus dugaan korupsi. Dia beralasan aparat penegak hukum dinilai sebagai simbol negara. Sontak saja, Sahroni menilai pernyataan Arteria Dahlan tidak mengatasnamakan Komisi III.

Tags:

Berita Terkait