Di acara inilah diharapkan muncul ide-ide baru untuk menciptakan peradilan modern, ujarnya. Sehingga, harapnya, peradilan Indonesia dapat dihormati dan disegani oleh negara-negara lain.
Koordinator Tim Pembaharuan Paulus Effendy Lotulung menyatakan desain ulang cetak biru ini dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman. Rekomendasi yang dituangkan di dalam cetak biru Pembaruan 2003 sebagian telah dilaksanakan atau dicapai, sebagian lagi sedang dijalankan, sebagian lagi sudah tidak up to date, ujarnya.
Paulus sempat mempresentasikan rekomendasi cetak biru 2003 yang telah tercapai. Salah satu capaian terbesar adalah dengan keluarnya Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) No. 144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan Informasi Pengadilan. Dari SK KMA ini, keluarlah produk-produk yang mendukung transparansi seperti, website www.putusan.net, transparansi anggaran dan keuangan dengan sistem biaya perkara melalui bank, informasi perkara melalui sistem teknologi informasi dan sebagainya.
Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara ini menjelaskan ada perbedaan fokus antara cetak biru Tahun 2003 dengan cetak biru yang akan segera dikeluarkan ini. Kami tak akan fokus pada MA saja, tapi juga pada lembaga peradilan dibawahnya, ujar Paulus. Ia memang menyadari cetak biru yang ada selama ini baru memfokuskan pembaruan di tingkat MA, belum di peradilan tingkat bawah.
Kehadiran para pakar memang diharapkan dapat berbagi pengalaman untuk berbicara reformasi pengadilan. Bapak-bapak diundang untuk memberi masukan strategi perubahan jangka panjang, ujar Paulus. Target pencapaian cetak biru yang sedang dirancang ini memang tidak pendek. Ini sampai tahun 2030, tegas Harifin. Ia mengatakan program akan dimulai pada 2010. Kemudian, akan terus berlanjut secara bertahap. Setiap tahapan akan memakan waktu lima tahun.
Tiga Masalah Utama
Para pakar yang dihadirkan secara bergantian menguraikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga peradilan. Sofyan Effendy menyoroti masalah anggaran. Ia menilai anggaran untuk lembaga peradilan sangat kecil, yakni hanya sekitar 0,3% dari APBN. Bahkan, untuk setiap pengadilan negeri hanya mendapat Rp25 juta per tahun. Bagaimana PN bisa membayar operator IT kalau anggarannya cuma Rp25 juta, ujar Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Selain itu, Sofyan juga menyoroti Sunber Daya Manusia di lingkungan peradilan yang masih minim, baik pegawai maupun hakimnya. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu penyebabnya. Dari data yang didapatnya, ada 98% hakim lulusan S1 dan hanya ada 2% hakim yang lulus S2 maupun S3.
Todung Mulya Lubis berbicara mengenai persepsi publik terhadap lembaga peradilan yang masih rendah. Ia mengakui lembaga peradilan memang terus berbenah. Namun, Todung menegaskan persepsi publik tak mudah untuk diubah. Butuh waktu yang lama dan terus menerus dalam melakukan perbaikan.
Pemerhati Hukum dan Peradilan Nono A. Makarim yang menyimpulkan hasil sumbang pikiran para pakar ini akhirnya mencatat ada tiga masalah utama yang harus dihadapi lembaga peradilan. Yakni, masalah anggaran yang minim, SDM yang rendah dan buruknya persepsi masyarakat terhadap peradilan.
Pertemuan ini memang baru tahap awal. Masih akan ada lagi pertemuan-pertemuan selanjutnya. Namun, Harifin berjanji akan mengumpulkan rekomendasi yang diperoleh. Semua rekomendasi akan dikumpulkan oleh tim pembaharuan. Nanti akan dibentuk tim lagi untuk membahas itu, pungkasnya.
Mahkamah Agung (MA) kedatangan sejumlah tamu penting. Nama-nama tenar seperti Mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi, Pakar Administrasi Negara UGM Sofyan Effendy, Ketua KY Busyro Muqoddas, Anggota Komisi III DPR RI Agun Gunandjar, Ketua KY Busyro Muqoddas, Advokat senior Todung Mulya Lubis hadir dalam acara Sarasehan Cetak Biru MA, Kamis (5/3). Para pakar itu diundang khusus untuk memberikan pandangan seputar reformasi peradilan.
MA memang sedang punya pekerjaan baru. Yakni, mendesain ulang blue print atau cetak biru MA yang diluncurkan pada Agustus 2003 lalu sebagai upaya mereformasi dirinya sendiri. Namun, usaha tersebut belum memperoleh hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pandangan miring masyarakat terhadap lembaga peradilan ini.
Proses pembaharuan masih jauh dari harapan, bisa dilihat dari pandangan masyarakat terhadap lembaga peradilan, ujar Ketua MA Harifin Tumpa. Survey KPK maupun Transparancy International Indonesia menempatkan lembaga peradilan pada posisi paling buncit untuk urusan integritas lembaga.
Karenanya, MA hendak memperbaharui cetak biru yang dibuat pada era Bagir Manan tersebut. Harifin menegaskan pembaharuan cetak biru dilakukan karena sudah ada target-target yang tercapai dan ada persoalan-persoalan yang harus disesuaikan dengan kondisi terkini.