Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Problematika Ketentuan PHK Karena Kesalahan Berat
Akibatnya, dengan memerhatikan asas presumption of innocence, pemutusan hubungan kerja (“PHK”) karena kesalahan berat menimbulkan perdebatan; Bolehkah pekerja di-PHK sebelum adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap?
SEMA 3/2015 memberikan kaidah bahwa dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan pasca Putusan MK 12/2003,
maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).
[1]
Meskipun Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan aturan internal Mahkamah Agung dan tidak secara eksplisit berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya, hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan hubungan industrial (“PHI”) berpedoman pada SEMA 3/2015 dan cenderung mengabaikan Putusan MK 12/2003.
Dengan demikian, jika pekerja melakukan kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa harus menunggu sidang pidananya terlebih dahulu.
Kesalahan Berat di Luar Pasal 158 UU Ketenagakerjaan
Telah dijelaskan di atas bahwa perbuatan yang tergolong sebagai “kesalahan berat” diatur secara limitatif dalam UU Ketenagakerjaan.
Meski demikian, setiap perusahaan diberikan hak untuk mengatur golongan atau bentuk pelanggaran dalam perusahaan (di luar isi Pasal 158 UU Ketenagakerjaan) yang dapat dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 161 UU Ketenagakerjaan selengkapnya berbunyi:
Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Sehingga nantinya ketika pekerja melakukan pelanggaran tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK setelah kepada pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berurutan.
Namun, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama juga dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama sekaligus peringatan terakhir. Apabila pekerja melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama sekaligus terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan PHK. [2]
Berdasarkan pertanyaan Anda, jikapun perusahaan secara khusus mengatur daftar “kesalahan berat” di luar ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan dan terdapat pekerja yang melakukan pelanggaran tersebut, maka pengusaha seharusnya mengeluarkan surat peringatan pertama sekaligus terakhir, bukan PHK. Jika dalam masa berlakunya surat peringatan pekerja tetap melakukan kesalahan, barulah ia dapat di-PHK.
Hanya saja di dalam praktik, Hakim pernah membenarkan PHK yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja yang melakukan pelanggaran berat yang diatur di peraturan perusahaan. Hal ini dapat kita temui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 684K/Pdt.Sus-PHI/2015 antara Robert Imanuel sebagai Penggugat/Pemohon Kasasi melawan PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cinde Wilis Jember sebagai Tergugat/Termohon Kasasi. Robert di-PHK karena telah meminta uang kepada nasabah yang mengajukan kredit. Perbuatan tersebut dilarang dalam peraturan perusahaan dan dikenakan sanksi pemberhentian. Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan PHK yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat adalah sah. Penggugat hanya berhak atas uang pisah.
PHK yang Tidak Memerlukan Intervensi PHI
UU Ketenagakerjaan sendiri mengimbau agar setiap pengusaha dan pekerja mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi PHK. Jika PHK tidak dapat dihindari, maka PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.[3]
Namun, penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diperlukan dalam hal:[4] pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
pekerja/buruh meninggal dunia.
Dengan demikian, sengketa PHK yang dilakukan bukan atas alasan-alasan tersebut harus diselesaikan melalui PHI. Namun, jalur litigasi ini hanya dapat ditempuh setelah perundingan bipartit, mediasi, dan/atau konsiliasi tidak menghasilkan jalan keluar.
Kewajiban Membayar Upah
Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dengan tegas menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Artinya, jika antara pengusaha dan pekerja terjadi kesepakatan mengenai PHK secara musyawarah dan mufakat, maka sejak PHK dilakukan perusahaan tidak lagi diwajibkan membayar upah pekerja.
Lain halnya jika antara pengusaha dan pekerja tidak tercapai kesepakatan mengenai PHK dan perselisihan PHK didaftarkan melalui PHI. Pengusaha masih diwajibkan untuk membayar upah kepada pekerja yang disebut dengan “upah proses”.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa:
Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 (“Putusan MK 37/2011”) menyatakan bahwa frasa “belum ditetapkan” dalam pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “belum berkekuatan hukum tetap”.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Lampiran SEMA 3/2015, hal. 3-4
[2] Penjelasan Pasal 161 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 151 UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 154 UU Ketenagakerjaan
[5] Lampiran SEMA 3/2015, hal. 4