Dinamika Tanah Ulayat dalam Jerat Hukum Negara
Kolom

Dinamika Tanah Ulayat dalam Jerat Hukum Negara

Tanah ulayat masih locus kontestasi hak antara masyarakat adat (nagari) dengan kelompok bisnis dan pemerintah (negara) di berbagai tempat di Sumatera Barat.

Bacaan 2 Menit
Dinamika Tanah Ulayat dalam Jerat Hukum Negara
Hukumonline

Penetapan sepihak kawasan hutan di wilayah-wilayah hutan adat, penetapan Hak Guna Usaha (HGU), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HPH) di tanah ulayat atau hutan adat dan izin-izin tambang kecil atau menengah di nagari-nagari mewarnai pergulatan hak tersebut yang berujung makin membaranya konflik tanah ulayat antara nagari dengan kelompok bisnis dan pemerintah (negara). Kasus perkebunan Anam Koto di Kabupaten Pasaman Barat, tuntutan nagari-nagari selingkar HPH AMT di Kabupaten Solok Selatan, konflik hutan adat Nagari Kambang terhadap TNKS di Kabupaten Pesisir Selatan adalah segelintir contoh-contoh kasus yang berlaku sampai saat ini.

 

Fakta di lapangan diatas bukan hanya sebatas tuntutan hak ulayat pada wilayah-wilayah konsesi (HGU/HPH) dan kawasan hutan yang ditetapkan oleh negara, namun merasuk pada konflik antara hukum negara dengan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut muncul akibat ekspresi hukum adat pada wilayah-wilayah tersebut tidak lagi diakui oleh hukum negara.

 

Penetapan kawasan hutan adalah contoh nyata bagaimana hak ulayat dan tata kelola sumberdaya alam berdasarkan hukum adat tidak berlaku lagi sejak ditetapkan wilayah adat menjadi hutan negara. Berbagai sanksi hukum (baca: hukum negara) terutama pidana mengancam siapa saja yang mengakses hutan negara tanpa izin, tidak terkecuali masyarakat nagari yang berada di sekitar atau didalam kawasan hutan negara tersebut. Tumpang tindih penguasaan sumber daya alam antara masyarakat nagari dengan negara tidak lagi terelakkan, kriminalisasi masyarakat nagari, pembatasan akses masyarakat nagari atas hutannya dan bahkan penghancuran sistem kearifan lokal (local wisdom) – pun berlaku.

 

Sebaliknya, kelompok-kelompok bisnis yang menggunakan legalitas hukum negara melalui izin-izin pemanfaatan hutan (HPH) diberi akses untuk mengelola walaupun tanpa persetujuan masyarakat nagari-nagari yang notabene sebagai pemilik hutan adat (tanah ulayat) pada wilayah-wilayah yang dimanfaatkan tersebut.

 

Fakta Pluralisme Hukum

Bila dilihat lebih dalam, fenomena yang terjadi seputar konflik tanah ulayat diatas tidak bisa dilepaskan dari politik hukum negara yang menganut sentralisme hukum negara. Sentralisme hukum menuntut kepatuhan mutlak warga negara pada hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang diakui, sedangkan hukum lain yang hidup di masyarakat (the living law) seperti hukum adat dianggap bukanlah hukum. Faktanya, hukum adat berlaku efektif di Sumatera Barat. Hukum adat memaksa setiap anggota masyarakat nagari untuk tunduk melalui penerapan sanksi adat dan mekanisme penyeleasaian sengketa adat.

 

Penerapan sanksi-sanksi tersebut menciptakan tertib sosial di nagari-nagari walaupun melalui pola-pola informal, berbeda halnya dengan hukum negara yang menggunakan pola-pola formal melalui institusi-institusi formal. Formalitas hukum tersebut menjadi basis klaim hukum negara untuk menyingkirkan pola-pola informal hukum lain terutama hukum adat (Chiba), sehingga dalam politik sentralisme hukum; negara adalah satu-satunya otoritas pencipta hukum, sedangkan hukum lain (hukum adat) dianggap hukum apabila diakui oleh hukum negara atau disebut dengan Weak - Legal Pluralism (Griffith, Benda - Beckmann, Fitzpatrick) yang sampai saat ini dianut negara ini.

 

Menarik untuk merujuk Kurniawarman (2009), bahwa nagari-nagari telah menjadi bagian terintegrasi dari negara dan menjadi entitas Semi-Autonomus of Social Field (Moore), sehingga nagari tidak lagi sepenuhnya autonom (mandiri) namun semi- autonom (semi-mandiri). Hal itu adalah konsekuensi penyatuan kehidupan berbangsa paska runtuhya penjajahan Belanda untuk menciptakan negara yang berdaulat. Nagari (masyarakat adat) tetap dihargai sebagai masyarakat semi-autonom dalam konstitusi kita, terutama dalam pengakuan hak ulayat atas sumber daya alamnya. Pengakuan konstitusi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam rezim peraturan sumber daya alam (Undang-undang Pokok Agraria/UUPA) dan rezim peraturan otonomi daerah.

Tags: