Ini Tanggapan Pakar Hukum Tata Negara Soal Wacana Amandemen UUD 1945
Pojok PERADI

Ini Tanggapan Pakar Hukum Tata Negara Soal Wacana Amandemen UUD 1945

Fahri Bachmid berpendapat, proses amandemen terhadap UUD 1945 membutuhkan sikap kehati-hatian yang tinggi.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi, Fahri Bachmid. Foto: Istimewa.
Wakil Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi, Fahri Bachmid. Foto: Istimewa.

Rencana amandemen konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) yang diusulkan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo merupakan hal normal dan lazim. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi sekaligus Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. Menurutnya, upaya tersebut seperti ‘academic discourse’ yang harus dilihat secara objektif.

 

Fahri melanjutkan, memang ada persoalan besar dan riskan yang belum sepenuhnya mendapat jalan keluar dari konstitusi saat ini. Misalnya, secara akademis, dalam UUD 1945 telah dengan tegas mengatur bahwa masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD, dan menteri adalah lima tahun. Karena itu, ketentuan Pasal 22E UUD 1945 tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.

 

Menjadi sebuah pertanyaan teoretis, jika terjadi sebuah kondisi yang membuat kesinambungan kepemimpinan bangsa dan negara terhenti, baik karena bencana alam, pandemi, pemberontakan/kerusuhan, atau krisis keuangan. Keadaan tersebut mungkin saja dapat diatasi oleh presiden dan wakil presiden, dengan menyatakan ‘keadaan bahaya’ sebagaimana diatur Pasal 12 UUD 1945. Namun, bagaimana jika ada situasi di mana presiden, wakil presiden, triumvirat (menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan menteri pertahanan), beserta jajaran lain lumpuh atau berhalangan tetap secara serentak?

 

“Bagaimana jika keadaan bahaya itu sama sekali tidak dapat diatasi oleh organ konstitusional yang ada; atau keadaan darurat negara sehingga pelaksanaan pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi; sehingga secara hukum tentunya tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai sebuah produk pemilu,” Fahri menerangkan.

 

Adapun situasi tersebut dapat menimbulkan pertanyaan soal pihak yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi ‘keadaan bahaya’. Menurut Fahri, UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan (constitutional deadlock), khususnya jika situasi seperti itu benar-benar terjadi.

 

“Sehingga salah satu materi amandemen kelima adalah terkait hal itu. Secara akademis, lembaga MPR yang diisi oleh anggota-anggota DPR dan DPD yang seluruhnya adalah produk pemilihan umum sebagai wujud kedaulatan rakyat ‘sovereignty’—maka prinsip kedaulatan rakyat itulah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut,” kata Fahri.

 

Atas dasar tersebut, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan serta kewajiban hukum untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi keadaan bahaya tersebut,

Tags:

Berita Terkait