Tanda Tanya Menteri tentang Posisi BAM HKI
Berita

Tanda Tanya Menteri tentang Posisi BAM HKI

Hanya menangani perkara perdata. Berharap putusannya mengikat, final, dan tak bisa banding.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Tanda Tanya Menteri tentang Posisi BAM HKI
Hukumonline

Memberikan dukungan positif bukan berarti bebas pertanyaan. Bukan pula berarti tidak ada persoalan hukum yang muncul jika suatu lembaga baru hadir. Sikap itulah yang ditunjukkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin.

Mendukung pembentukan Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI), Menteri Amir masih mempertanyakan posisi badan ini dalam sistim penyelesaian sengketa bidang hak kekayaan intelektual. “BAM HKI posisinya dimana?”, kata Amir dengan nada bertanya.

BAM HKI resmi diluncurkan di Jakarta pada 19 April lalu. Dihadiri sejumlah tokoh hukum, termasuk Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin, BAM HKI akan tampil sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di bidang kekayaan intelektual.

Pertanyaan sang Menteri bukan tanpa dasar. Amir menunjuk Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lantaran ada kompetensi absolut badan arbitrase nasional Indonesia menyelesaikan sengketa, maka sulit bagi badan  arbitrase lain untuk ikut campur. Pengadilan negeri saja tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terikat perjanjian arbitrase.

Tapi sang menteri juga diliputi nada khawatir. Pelanggaran HKI terus terjadi. Pembajakan, penggunaan merek secara ilegal, atau pelanggaran hak cipta sekadar contoh yang secara ekonomi sangat merugikan. Jika pelanggaran HKI terus dibiarkan, kata Amir, berdampak pada banyak hal: lesu kreativitas pencipta, kredibilitas Indonesia menjadi buruk, dan pada akhirnya tingkat investasi rendah. “Perlu penanganan serius untuk melindungi  HKI,” tandas Amir.

Kehadiran BAM HKI menjadi salah satu forum alternatif penyelesaian sengketa. Sebab, penyelesaian melalui forum arbitrase dimungkinkan secara hukum. Guru Besar Hukum HKI Universitas Krisnadwipayana, Insan Budi Maulana, mengingatkan bahwa sejak awal penyusunan perundang-undangan HKI, penyelesaian arbitrase atau mediasi sudah diperkenalkan. Model penyelesaian itu ditarik dari konsep musyawarah yang dinilai ‘akar rumput Indonesia’. “Masyarakat dididik untuk menyelesaian masalahnya secara bersama-sama,” kata anggota drafter perundang-undangan bidang HKI ini.

Sekadar contoh, pasal 65 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal ini merumuskan hak para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (APS). Alternatif dimaksud bisa berupa negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau cara lain yang dipilih oleh para pihak. Namun penyelesaian lewat arbitrase dan APB belum banyak dimanfaatkan. Konsultan HKI, Gunawan Suryomurcito mencatat hanya ada dua perkara HKI yang ditangani Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) selama ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: