Indonesia Menuju Nepokrasi?
Kolom

Indonesia Menuju Nepokrasi?

Kemunduran demokrasi yang dibajak nepotisme. Pada dasarnya adalah monarki berbasis keturunan dan kroni.

Prof. Dr.Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. Foto: Istimewa
Prof. Dr.Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. Foto: Istimewa

Bagi peminat studi hukum dan kenegaraan sulit rasanya tidak mengenal doktrin cyclus-nya Polybios (seorang sejarawan Yunani kuno) yang dikenal Cyclus Polybios. Doktrin ini menjelaskan bahwa pemerintahan sesungguhnya merupakan suatu siklus semata. Menurutnya, pola pemerintahan pertama adalah monarki—sistem pemerintahan oleh Raja—yang menobatkan diri sebagai pengguna kuasa Tuhan semata-mata untuk rakyat.

Konsep ini lalu berubah menjadi tirani ketika sang Raja berkuasa secara semena-mena dan melakukan penyelewengan wewenang sehingga rakyat menjadi tertindas. Pertikaian akibat kesemena-menaan Raja dalam penggunaan kuasa Tuhan menghasilkan pola aristokrasi. Para cendekiawan yang dianggap lebih bijaksana diberikan kuasa untuk menjalankan pemerintahan. Akan tetapi, anggapan tersebut berubah karena ternyata para cendikiawan dianggap terlalu kaku. Akhirnya muncul beragam pengkhianatan atas keilmuan untuk kepentingan politik kelompok atau golongan.

Baca juga:

Oligarki sebagai bentuk kuasa yang nyata menjadi bentuk berikutnya. Pola ini diharapkan jauh lebih baik. Hal itu karena dianggap mampu mendistribusikan kesejahteraan melalui “urun rembug” di antara kaum bangsawan atau elit. Ekspektasi tersebut ternyata keliru. Apa yang terjadi justru sirkulasi kekuasaan dan kekayaan yang membusuk di antara mereka. Lahirlah sikap etnosentrisme dan feodalisme yang jelas menjauhkan dari tujuan sebenarnya.

Kekecewaan yang demikian melahirkan demokrasi. Pola ini didasari kebangkitan rakyat untuk melancarkan revolusi melawan para oligark yang bertindak semena-mena. Rakyat kemudian menjadi berkuasa atas pemerintahan dan negara. Jargon res publica menggema sebagai bentuk yang dianggap paling aman. Hasilnya adalah pola pemerintahan dengan kekuasaan rakyat secara langsung.

Namun, demokrasi dalam perkembangannya akan mengalami pembusukan. Salah satu bentuknya adalah oklokrasi. Demokrasi diasumsikan berjalan di tangan rakyat yang berbudi luhur. Sebaliknya, oklokrasi adalah ketika pemerintahan dikelola massa (mob) dan demagog. Dengan kata lain, oklokrasi dijalankan sekelompok orang yang mampu mengintimidasi otoritas. Akhirnya kondisi ini melahirkan situasi chaos—karena proses degeneratif—yang mengembalikan ke siklus semula. Kembali muncul seorang pemimpin dengan mindset otoritarian yang mendorong lahirnya monarki baru. Bentuk pemerintahan yang didirikan akan berlandaskan pada keturunan (kerajaan).

Uraian di atas menjelaskan bahwa lebih dulu terjadi kondisi chaos yang menghasilkan kesadaran bahwa pemerintahan monarki menjadi jalan keluar dari oklokrasi. Kesadaran dan tendensi itu lazim dipahami sebagai nepotisme. Ketika kesadaran itu menjadi kesadaran kolektif, saya menyebutnya sebagai nepokrasi.

Tags:

Berita Terkait