7 Poin Penting Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja
Utama

7 Poin Penting Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja

Secara prinsip dan konsep pengaturan analisis dampak lingkungan (Amdal) tidak berubah, tapi disempurnakan dalam peraturan pelaksana sesuai tujuan UU Cipta Kerja yang memberi kemudahan untuk mendapatkan persetujuan lingkungan. Amdal bersifat wajib hanya untuk dokumen lingkungan hidup yang berisiko tinggi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Webinar Hukumonline 2021 bertema 'Strategi Hukum dalam Menghadapi UU Cipta Kerja terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup', Kamis (10/6/2021). Foto: RES
Webinar Hukumonline 2021 bertema 'Strategi Hukum dalam Menghadapi UU Cipta Kerja terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup', Kamis (10/6/2021). Foto: RES

Substansi Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah sejumlah ketentuan di banyak UU, salah satunya UU No.32 Tahun tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), khususnya yang terkait dengan pengaturan analisis dampak lingkungan (Amdal).  

Kepala Sub Direktorat Penyidikan, Perusakan Lingkungan, Kebakaran Hutan, dan Lahan Direktorat Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Firdaus Alim, mengatakan ada 7 poin penting pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja. Pertama, ada perubahan nomenklatur perizinan dari izin lingkungan menjadi izin usaha. Kedua, pengintegrasian izin lingkungan.

Ketiga, komisi penilai Amdal diganti menjadi tim independen yang akan melakukan penilaian dokumen Amdal. Keempat, pengujian kelayakan Amdal. Kelima, dalam penyusunan Amdal juga melibatkan masyarakat, tapi hanya untuk yang masyarakat terdampak. Keenam, penetapan kriteria usaha dan/atau kegiatan berdampak penting. Ketujuh, integrasi izin PPLH dan Amdal ke dalam dokumen lingkungan.

“Secara prinsip dan konsep tidak ada yang berubah terkait Amdal, hanya penyempurnaan dalam peraturan pelaksana. Intinya Amdal wajib bagi usaha atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup,” kata Firdaus Alim dalam webinar Hukumonline 2021 bertema “Strategi Hukum dalam Menghadapi UU Cipta Kerja terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Kamis (10/6/2021). (Baca Juga: Melihat Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja)

Selain itu, substansi dalam dokumen Amdal tidak berubah meliputi 6 hal. Pertama, pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan. Kedua, evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Ketiga, saran masukan serta tanggapan masyarakat yang terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

Keempat, perkiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan. Kelima, evaluasi secara holistik untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup. Keenam, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Dia mengingatkan pengaturan perizinan berusaha dalam UU Cipta Kerja menggunakan konsep perizinan usaha berbasis risiko. Amdal wajib untuk dokumen lingkungan hidup yang berisiko tinggi. Kemudian akan diterbitkan surat keputusan kelayakan lingkungan hidup (SKKL).

Untuk dokumen risiko menengah hanya perlu UKL-UPL dan persetujuan lingkungan yang diterbitkan bernama Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKPLH). Dokumen berisiko rendah hanya perlu mengurus nomor induk berusaha (NIB). Semua persyaratan itu akan digunakan sebagai syarat penerbitan perizinan berusaha.

“Setelah terbit perizinan berusaha, pemerintah melakukan pengawasan dan jika ada pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif. Penegakan hukum pidana dilakukan sebagai langkah terakhir (ultimum remidium, red),” ujarnya.

Partner Soemadipradja & Taher, Ardian Deny Sidharta, mengatakan ada perubahan dfalam Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 melalui UU Cipta Kerja. Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 mengenai penerapan asas strict liability, dimana tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan, tetapi cukup membuat potensi atau ancaman kerusakan lingkungan tersebut terjadi, maka dapat dijadikan dasar (majelis hakim, red) untuk memutuskan.  

Tapi, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 menjadi setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

“Frasa ‘tanpa pembuktian unsur kesalahan’ dihapus. Dalam naskah akademik (RUU Cipta Kerja, red) disebut ini dalam rangka memberi kepastian hukum,” ujar Ardian.

Ardian mengingatkan sedikitnya 5 hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pembuktian strict liability. Pertama, penggugat tetap harus membuktikan adanya unsur melawan hukum. Kedua, penanggung jawab usaha harus lebih hati-hati dalam memahami pengertian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Ketiga, dalam penentuan besarnya kerugian atas suatu pencemaran/kerusakan lingkungan, dalam beberapa kasus di dasarkan pada Permen LHK No.7 Tahun 2014. Keempat, dalam memutus perkara lingkungan, hakim berpegang pada Keputusan Ketua MA No.36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang tetap membuka kemungkinan penemuan hukum. Kelima, berdasarkan Pasal 501 PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan PPLH bahwa gugatan perdata oleh pemerintah dapat timbul dari rekomendasi hasil pengawasan.

Tags:

Berita Terkait