Menemukan Tafsir Legalitas Seks Bebas dalam Permendikbudristek 30/2021
Kolom

Menemukan Tafsir Legalitas Seks Bebas dalam Permendikbudristek 30/2021

Consent dalam Permendikbudristek itu jangan dipandang sempit sehingga menimbulkan kesalahan persepsi.

Bacaan 6 Menit

Consent Penting

Mari kita perhatikan dengan baik tentang apa yang menjadi consent dari peraturan menteri tersebut yang lepas dari perhatian, antara lain:

  1. Dalam perilaku yang berhubungan dengan seksualitas objek seksual dalam peraturan menteri tersebut baik dengan persetujuan maupun tidak namun objek seksual tetap disebut sebagai “korban”;
  2. Bahwa ide terpenting dan kekuatan Permendikbudristek ini adalah pada frasa "ketimpangan relasi kuasa/gender";

Menurut Penulis, sudah ada pasal-pasal yang harusnya menjadi batasan penentu dalam memahami keseluruhan isi dari peraturan tersebut sehingga tidak keluar dari original intent secara sistematis. Pasal 1 angka 1 memberikan tekanan pada setiap perilaku seks tidak boleh terjadi dalam ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, jangan dipahami sebagai seks bebas di lingkungan kampus. Akan tetapi juga terhadap pasangan suami/isteri yang masih mahasiswa maupun pasangan sah di lingkungan kampus.

Hubungan seksual hanya dapat terjadi ketika terjadi kesetaraan kuasa ataupun kesetaraan gender, tidak ada yang saling menguasai. Sehingga harus dipahami kesepakatan atau persetujuan antar individu tersebut harus dilakukan oleh subjek yang saling setara dalam hak dan kewajiban, bukan sama.

Dalam konteks seksualitas, hal yang diterima umum dan tentunya kesetaraan dalam hukum hanya bisa dicapai ketika terjadi ikatan perkawinan (nikah) antara lelaki dan perempuan, kelamin yang berbeda, dan gender yang setara (maskulin-feminin) yang harus dibedakan dengan makna gender yang sama.

Mengenai uraian dalam Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi, “Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban, dst”, dimaknai bahwa meskipun ada persetujuan namun perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai kekerasan karena penyebutan objek yang menyetujui disebut sebagai “korban” dengan tidak menyebutnya dengan kata “orang”. Dalam kriteria yang disebut dalam Pasal 5 ayat (3) maka perbuatan pelaku masuk dalam kategori kejahatan yang diatur dalam UU lainnya yang bekerja di lingkungan manapun termasuk kampus. Demikian juga Pasal 1 angka 2 memberikan definisi tentang korban.

Peraturan tersebut tidak bisa dan tidaklah ditujukan untuk menghalangi UU lain dan/atau peraturan-peraturan yang ada di atasnya. Inilah yang akhirnya lepas dari pemikiran karena terlalu fokus mengkritisi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait