Menemukan Tafsir Legalitas Seks Bebas dalam Permendikbudristek 30/2021
Kolom

Menemukan Tafsir Legalitas Seks Bebas dalam Permendikbudristek 30/2021

Consent dalam Permendikbudristek itu jangan dipandang sempit sehingga menimbulkan kesalahan persepsi.

Bacaan 6 Menit

Dalam hal ini penyebutan korban menurut Penulis lebih dikarenakan telah berlaku sebagai subjek yang menerima perlakuan. Namun secara hukum tidak dalam keadaan yang seimbang sehingga meskipun memiliki pengaruh dalam kausalitas tetap disebut sebagai objek kekerasan yang relatif tapi objektif harus mendapat prioritas perlindungan hukum.

Tafsir Legalitas Seks Bebas dalam Permendikbudristek

Dalam dunia hukum, kita tahu bahwa terdapat metode penafsiran hukum, yaitu tata bahasa (gramatikal), sahih (autentik/resmi), historis, sistematis, nasional, teleologis (sosiologis), ekstensif, restriktif, analogis, a contrario dan lainnya. Tampaknya terjadi blunder antara kritik gramatikal dengan teleologis ataupun sosiologis sehingga sulit diterima ketika tidak mengajukan redeneering acontratio (pertentangan) yang relevan, di mana alas argumentasinya terlalu meluas pada kenyataan penyakit masyarakat yang dihadapi – semoga bukan sentimen – yang berada di luar jangkauan pengaturan peraturan menteri ini apalagi sudah diatur dalam banyak UU.

Permasalahan dasarnya justru pada perkembangan pemikiran dan perilaku masyarakat itu sendiri yang berpotensi mengubah makna frasa “relasi kuasa dan/atau gender”. Masyarakat jangan membuat dugaan bahwa peraturan menteri ini menjadi pintu masuk seks bebas, karena menurut Penulis ia sudah tepat dan evolutif. Dengan demikian, seperti biasanya kita selalu punya tugas memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat – terutama kalangan kampus – mengenai perilaku-perilaku yang menyimpang menurut kaidah agama dan etik agar tidak mudah meracuni kehidupan masyarakat kita.

Dibutuhkan kesepakatan dari para public figure (pejabat), role model (tokoh masyarakat) dan center of interest (kalangan seniman, selebriti dan influencer) untuk menyaring ide-ide HAM yang tidak sesuai dengan kaidah agama, etika dan budaya bangsa dari upaya penetrasinya yang merusak pola pikir masyarakat yang mengakibatkan terganggunya tatanan kemasyarakatan.

Kedudukan Permendikbudristek

Peraturan menteri sama sekali tidak mengatasi UU yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan maupun kejahatan seksual dengan sifat yang memaksa (dwingend). Ia tidak mengikat secara umum (algemeen bindende) dan ditujukan kepada persoon yang membuat ketimpangan relasi kuasa/gender [Pasal 1 ayat (1)] di lingkungan Perguruan Tinggi [Pasal 1, 2 dan 4] serta bersumber dari kekuasaan eksekutif.

Namun harus diakui bahwa terdapat kekurangan dalam konsiderans dengan tidak menyebut UU ITE dan Pornografi. Konsiderans yang memuat ketentuan-ketentuan yang identik berkaitan dengan kedua UU tersebut seperti misalnya mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video, mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual, mengunggah foto, menyebarkan informasi.

Peraturan menteri ini bukanlah UU sehingga tidak perlu kekhawatiran berlebihan karena ia tidak berlaku sebagai aturan khusus kecuali sebagai acuan bagi peraturan lain di lingkungan Perguruan Tinggi (vide Pasal 2 huruf a). Apalagi sudah ada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mengatur soal kekerasan dan/atau kejahatan seksual secara umum. Jadi jangan hanya terpaku pada Pemendikbudristek tersebut sehingga seolah-olah hanya itulah aturan main tentang kekerasan seksual, quad-non - padahal tidak.

*)Agung Pramono, SH., CIL adalah seorang advokat, anggota Kongres Advokat Indonesia Pimpinan TSH.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait