PSHK: Permendikbudristek 30/2021 Fokus Pelindungan Korban Kekerasan Seksual
Terbaru

PSHK: Permendikbudristek 30/2021 Fokus Pelindungan Korban Kekerasan Seksual

PSHK menilai ketentuan dalam Permendikbudristek 30/2021 tidak melegalkan perbuatan zina, tetapi upaya melindungi setiap orang dari tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Sebelumnya, Permendikbudristek 30/2021 ini menimbulkan kontra di masyarakat. Kritikan datang dari Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifa Amaliah. Dia melihat selain tidak mencantumkan nilai-nilai Pancasila, beleid ini cenderung mengandung nilai/unsur liberalisme. Misalnya, memasukkan kata “persetujuan korban” atau dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang digunakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek itu. Pasal 5 ayat (2) mengatur beberapa tindakan atau perilaku masuk dalam tindakan kekerasan seksual bila tanpa “persetujuan” dari korban.

“Ditambah tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” kritiknya.

Ketua Presidium Majelis Ormas Islam (MOI) Nazar Haris menilai banyak poin dalam beleid tersebut bermasalah dan potensi menjadi polemik di masyarakat dalam implementasinya. Menurutnya, Permendikbudristek 30/2021 mengadopsi draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah ditolak masyarakat di DPR periode 2014-2019.

Menurutnya, poin yang dikritisi dan ditolak, antara lain soal paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent). Paradigma itu memandang standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual berdasarkan persetujuan para pihak, bukan nilai agama. Begitupula soal penggunaan definisi relasi kuasa dan gender tak mengambil dari Pancasila. Tapi, malah dari konstruksi berpikir dunia barat yang bertentangan dengan dunia ketimuran dan fitrah penciptaan manusia.

Untuk itu, MOI meminta beleid tersebut diubah atau diganti dengan aturan baru yang sejalan dengan nilai-nilai dalam sila Pancasila. Termasuk perumusan dan pembahasannya melibatkan para pemangku kepentingan. Seperti Ormas keagamaan yang menjadi pemangku kepentingan dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Koordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni Himpunan Mahasiswa Islam-wati (Forwati) Hanifah Husein meminta menarik dan menyempurnakan Permendikbudristek 30/2021. Khususnya menghilangkan frasa “tanpa persetujuan korban”. Dia menilai keberadaan frasa itu membuka celah kebolehan melakukan kekerasan seksual, memantik, sekaligus memberi peluang terjadinya perzinahan atas dasar persetujuan alias suka sama suka.

“Kekerasan seksual dan berbagai implikasinya harus dipandang tidak dalam konteks hubungan personal, tapi hubungan sosial dalam keseluruhan konteks kebudayaan dengan berbagai nilai dan norma agama yang berlaku di masyarakat,” katanya.

Tags:

Berita Terkait