Sejumlah Catatan Negatif 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf
Terbaru

Sejumlah Catatan Negatif 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf

Antara lain penggunaan pasal karet untuk membungkam kebebasan berekspresi; Polri digunakan sebagai pelindung kekuasaan yang mengucilkan perlindungan rakyat; tidak serius memberantas korupsi dan melemahkan KPK; serta tren buruk penyusunan peraturan perundang-undangan.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Tak hanya itu, pemenuhan terhadap hak-hak pekerja perlu dilakukan dan melindungi seluruh pekerja migran dari kekerasan dan vonis hukuman mati. Pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu harus diadili serta membuka dokumen TPF kasus Munir kepada publik. Terakhir, Arif mengusulkan pemerintah untuk serius menangani banjir dan membuka ruang partisipasi bagi masyarakat terdampak.

ICJR beri rapor merah

Sebelumnya Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menilai reformasi peradilan pidana selama 2 tahun Jokowi-Ma’ruf berjalan stagnan. Dia mencatat sedikitnya ada 3 hal yang perlu disoroti selama 2 tahun pemerintahan Jokowi-ma’ruf.

Pertama reformasi hukum pidana materil. Salah satu persoalan dalam sistem peradilan pidana yakni over kriminalisasi dan ketergantungan yang begitu besar dengan pemenjaraan. Tapi setelah 12 kali sosialisasi RKUHP yang dilakukan pemerintah, potensi over kriminalisasi masih ada. Misalnya ketentuan terkait penghinaan kepada Presiden, lembaga negara, dan unjuk rasa yang mengganggu ketertiban umum dikenakan ancaman pidana dan penjara.

“Tidak hanya RKUHP, legislasi lain yang overkriminalisasi tak juga diperbaiki secara tepat dan segera. Misalnya yang paling utama, UU Narkotika, yang masih mempidana pengguna narkotika, tapi langkah menghadirkan dekriminalisasi pengguna narkotika tak kunjung dikonkretkan,” papar Erasmus.

Kedua reformasi hukum acara pidana. Erasmus melihat tak hanya dalam aspek materiil mengenai norma hukum pidana, momentum reformasi hukum acara juga terjadi dengan adanya pandemi covid-19. Seharusnya respons segera dijalankan untuk membuat pengaturan hukum acara pidana yang tetap menjamin hak atas peradilan yang adil di tengah kondisi darurat. Sayangnya pemerintah juga luput meformasi hal ini di tataran legislasi.

Ketiga, reformasi respon pemerintah terhadap kritik masyarakat. Erasmus mencatat aparat kerap bertindak represif dan tidak mengindahkan batasan kewenangan yang diatur dalam UU dan melanggar HAM. Misalnya dalam kasus demonstrasi Reformasi Dikorupsi tahun 2019 dan Mosi Tidak Percaya tahun 2020. Dalam peristiwa itu ditemukan ada pengunaan kekuatan secara berlebihan oleh aparat. Ditambah lagi, penghapusan mural bermuatan kritik dan ancaman terhadap warga yang menyuarakan #PercumaLaporPolisi.

“Atas dasar hal tersebut ICJR memberikan rapor merah pada pekerjaan rumah Presiden Jokowi di isu reformasi peradilan pidana,” tegas Erasmus.

Erasmus mendorong pemerintah untuk serius mencegah overkriminalisasi dan overcrowding. Presiden Jokowi harus berkomitmen penuh bahwa perumusan hukum pidana tidak boleh menghadirkan overkriminalisasi, apalagi kriminalisasi yang menjauhkan demokrasi dan perlindungan warga negara. Begitu juga akuntabilitas sistem peradilan pidana dengan menginisiasi pembahasan revisi KUHAP, menjamin due process of law dan perlindungan HAM sebagai prinsip.

Tak ketinggalan Erasmus mendesak pemerintah memberikan ruang demokrasi yang terbuka kepada masyarakat. Caranya antara lain tidak merespon secara reaktif dan represif kritik dan masukan yang disampaikan masyarakat

Tags:

Berita Terkait