3 Catatan Perbaikan Refleksi Kasus Baiq Nuril
Utama

3 Catatan Perbaikan Refleksi Kasus Baiq Nuril

Perbaikan tersebut dilakukan mulai dari revisi UU ITE, pembaruan hukum acara pidana, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Baiq Nuril Maknun. Foto: RES
Baiq Nuril Maknun. Foto: RES

Keputusan Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, guru honorer SMA yang menjadi korban pelecehan seksual mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Amnesti tersebut menggugurkan putusan Mahkamah Agung (MA) atas penolakan permohonan gugatan Peninjauan Kembali (PK).

 

Putusan MA tersebut memperkuat putusan pengadilan sebelumnya, yakni putusan Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril dengan pidana 6 bulan penjara dan denda 500 juta subsidier 3 bulan kurungan karena dianggap melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Kasus ini bermula saat Baiq Nuril dituduh menyebarkan rekaman percakapan telepon dengan atasannya, Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim. Muslim ditengarai melakukan pelecehan seksual secara verbal dalam percakapan itu. Tak terima tersebar rekaman percakapan itu, Muslim mempolisikan Baiq hingga berujung ke pengadilan.

 

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia  Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai permasalahan yang menimpa Nuril ini mengungkap berbagai kelemahan hukum. Terdapat tiga catatan yang perlu menjadi perbaikan sehingga persoalan Nuril ini tidak terulang. Perbaikan tersebut dilakukan mulai dari revisi UU ITE, pembaruan hukum acara pidana, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana.

 

Dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Ketua Harian MaPPI FHUI, Dio Ashar W  menjelaskan UU ITE merupakan akar seluruh masalah sehingga perlu segera direvisi. Seperti yang diketahui, bahwa Baiq Nuril didakwa dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal tersebut memuat rumusan tidak jelas terkait batasan unsur “melanggar kesusilaan”.

 

Selain itu, unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” kendati telah dirumuskan harus dalam sistem elektronik, dalam implementasinya, putusan pengadilan di tingkat Mahkamah Agung sekalipun masih menginterpreasikan unsur tersebut secara luas dan multitafsir, yang berdampak pada terjadinya kriminalisasi.

 

Dia menekankan Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga memuat ketentuan pidana tentang penghinaan dalam sistem elektronik, yang dalam penjelasan dimuat bahwa pasal ini merujuk pada ketentuan KUHP. Namun, dia menganggap UU ITE gagal menjelaskan rujukkan pasal KUHP tersebut. Hal ini disebabkan KUHP mengatur tingkatan tindak pidana mulai dari “penghinaan ringan”, “menyerang kehormatan orang” sampai dengan “fitnah”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait