Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak
Kolom

Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak

Tidak dimasukkannya klausul force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak tidak berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan.

Bacaan 2 Menit
Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak
Hukumonline

Telinga kita tentunya tidak asing dengan istilah force majeure. Istilah ini cukup sering diucapkan dalam peristiwa sehari-hari terutama terkait dengan peristiwa hukum. Meski begitu, belum tentu pemahaman kita tepat mengenai force majeure. Berangkat dari hal tersebut, Penulis mengangkat topik ini sebagai bahasan.

 

Secara general, peristiwa force majeure sering dikaitkan dengan suatu kejadian yang disebabkan oleh kekuatan yang lebih besar biasanya berupa gempa bumi, banjir, gunung meletus (acts of god), perang, kerusuhan, tindakan pemerintah, tindakan teroris, dan lain-lain yang menghalangi pihak untuk berprestasi terkait suatu perjanjian. Atas dasar adanya force majeure ini, pihak yang tidak berprestasi tersebut dibebaskan dari ganti rugi karena perbuatannya dianggap bukan sebagai tindakan wanprestasi.

 

Akibat tidak adanya suatu definisi yang tegas terhadap force majeure, beragam interpretasi muncul termasuk dari para ahli hukum sehingga tidak jarang perbedaan interpretasi itu berujung masalah di kemudian hari. Biasanya, salah satu upaya para pihak untuk mencegah perbedaan interpretasi mengenai force majeure adalah dengan memasukkan secara terperinci mengenai keadaan-keadaan yang dianggap sebagai force majeure. Hal tersebut ternyata tidak cukup malah cenderung semakin mengaburkan gambaran mengenai force majeure. Ditambah lagi perkembangan teori force majeure relatif dan absolut. Hal ini menyebabkan force majeure memiliki dimensi yang luas dan harus dilihat secara kasus per kasus untuk penetapannya.

 

Contoh klausa standar force majeure dalam perjanjian:

“Tidak ada satu pihakpun akan bertanggungjawab atas kegagalan pelaksanaan sesuatu kewajiban yang disebabkan oleh Peristiwa Force Majeure. Peristiwa Force Majeure berarti peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan dan kehendak para pihak tanpa ada unsur kesalahan atau kelalaian para pihak yang disebabkan oleh sesuatu kejadian atau keadaan memaksa dan istilah ini mencakup kejadian di luar kekuasaan manusia (Acts of God), kebakaran, ledakan atau bencana lain, angin ribut, blockade, perang, pemogokan atau gangguan perburuhan lain, kerusuhan, huru-hara masyarakat, tindakan dari penguasa sipil atau militer.

 

Force majeure dalam peraturan perundang-undangan Indonesia:

1.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( “KUH Perdata”)

 

KUH Perdata tidak mengenal istilah force majeure tetapi Pasal 1244 KUH Perdata mengatur bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.

 

Lebih lanjut, Pasal 1245 KUH Perdata mengatur bahwa para pihak tidak harus membayar biaya kerugian dan bunga apabila salah satu pihak berhalangan berprestasi akibat dari kejadian memaksa atau kejadian yang tidak terduga atau akibat hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut.

 

2.    UU No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi

 

Mengartikan keadaan memaksa (force majeure) sebagai kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Penjelasan UU No 18/1999 mengklasifikasikan keadaan memaksa menjadi dua bagian yaitu keadaan memaksa absolut dimana para pihak sudah tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya dan keadaan memaksa relatif dimana para pihak masih dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Lebih lanjut, UU No 8/1999 menegaskan bahwa resiko atas keadaan memaksa tersebut dapat diperjanjikan oleh para pihak antara lain melalui asuransi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: