Kepemilikan Flag of Convenience, Berdayakan Perusahaan Pelayaran Nasional
Kolom

Kepemilikan Flag of Convenience, Berdayakan Perusahaan Pelayaran Nasional

Bacaan 2 Menit
Kepemilikan Flag of Convenience, Berdayakan Perusahaan Pelayaran Nasional
Hukumonline

Pangsa pasar usaha pelayaran, terutama kapal-kapal untuk mengangkut barang-barang impor, ekspor dan menunjang kegiatan usaha migas lepas pantai sebagian besar masih dikuasai oleh perusahaan pelayaran asing. Usaha Pemerintah untuk memberdayakan perusahaan pelayaran milik nasional sudah dilakukan sejak awal tahun 1970-an dengan menerbitkan beberapa kebijakan. Terakhir adalah Instruksi Presiden No 5/2005 dan UU No 17/2008 tentang Pelayaran.

 

Tujuan utamanya adalah agar perusahaan pelayaran nasional bisa bersaing, paling tidak menjadi pelaku utama mengangkut dan melayani ekspor impor barang-barang Pemerintah dan angkutan laut nasional maupun untuk penunjang kegiatan eksplorasi, eksploitasi sumber daya migas lepas pantai.

 

Dispensasi Syarat Bendera 

Kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan sejak awal tahun 1970-an, adalah membatasi izin penggunaan kapal berbendera asing dengan maksud untuk mendorong dan memberikan kesempatan kepada pengusaha pelayaran nasional memiliki kapal berbendera Indonesia dengan menerbitkan kebijakan dispensasi syarat bendera atas penggunaan kapal berbendera asing di perairan Indonesia. Perusahan nasional yang menyewa dan memasukkan kapal bendera asing untuk bekerja di dalam negeri terutama kapal-kapal penunjang kegiatan usaha migas lepas pantai wajib memperoleh izin dan dispensasi dengan berbagai persyaratan dari Departemen yang berkepentingan.

 

Sejak saat itu juga keikutsertaan Departemen yang merasa berkepentingan dengan tujuan tersebut mulai menjamur. Terjadilah drama perizinan secara berjemaah terhadap perusahan pelayaran nasional yang memasukkan kapal asing karena tidak ada kapal milik nasional (bendera Indonesia). Mulai dari urusan lalu lintas kapal, kepabeanan terhadap barang yang dibawa, impor sementara kapal itu karena dianggap lagi sebagai barang, dispensasi keimigrasian awak kapal yang akan melayani kapal itu bekerja dan sebagainya. Dikeluarkanlah kebijakan yang dimuat dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pertambangan tahun 1980-an kemudian disusul dengan UU No 21/1992 tentang Pelayaran.

 

Salah satu contoh perizinan tambahan yang cukup merepotkan perusahaan pelayaran adalah peraturan kepabeanan (OB 23) yang menganggap kapal yang masuk keluar Indonesia selain dilayani sebagai kapal juga dilayani lagi sebagai barang dan harus ditaksir berat dan harganya untuk mendapatkan Izin Impor Sementara. Padahal, Indonesia sudah lama meratifikasi Konvensi untuk memudahkan aturan lalu lintas kapal antar negara (IMO FAL Convention 1965) dimana Bea Cukai sudah melakukan pemeriksaan bersama dengan instansi lain (CIQ) terhadap kapal yang masuk keluar perairan Indonesia.

 

Kerumitan perizinan ini ujung-ujungnya terjadi pungli (korupsi) berjemaah. Kalau pelaku usaha pelayaran menanyakan hal ini kepada Ditjen Perhubungan Laut sebagai pembina usaha pelayaran kenapa sampai demikian. Dijawab dengan enteng bahwa setiap Departemen berhak mengatur dan kami tidak bisa mengintervensi Departemen lain. Kebijakan perizinan seperti ini sudah berlangsung selama empat dekade. Namun, tujuan mulia untuk memberdayakan perusahaan pelayaran nasional tidak kunjung berhasil. Pangsa pasar tetap dikuasai perusahaan asing. Dan perusahaan pelayaran nasional  masih sama, tetap terpuruk.

 

Karena kebijakan itu dirasakan kurang berhasil maka kemudian diterbitkanlah Inpres No 5/2005, lebih tegas lagi menyebutkan bahwa angkutan barang-barang dalam negeri maupun barang-barang impor dan ekspor yang dibiayai oleh APBN harus dilakukan oleh kapal milik perusahaan nasional yang berbendera Indonesia dan dikelaskan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Drama perizinan dan ekses yang diakibatkannya secara berjemaah tetap saja berlanjut tapi kondisinya tidak berubah. Rentetan peraturan dan kebijakan dari semula tidak berhasil karena selalu mengingkari perubahan yang terjadi dengan memaksakan perusahaan pelayaran nasional untuk bersaing memperebutkan pasar dan memenuhi peraturan yang tidak sanggup mereka penuhi.

Tags: