Menyelaraskan Sita Umum dan Sita Pidana
Kolom

Menyelaraskan Sita Umum dan Sita Pidana

Perlu mekanisme kerja sama untuk menjamin kepastian hukum, keadilan,dan kemanfaatan bagi lebih banyak orang.

Bacaan 5 Menit
Rasamala Aritonang (kiri) dan Indry Annantah (kanan). Foto: Istimewa.
Rasamala Aritonang (kiri) dan Indry Annantah (kanan). Foto: Istimewa.

Makna diskrepansi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketidakcocokan. Namun, dalam konteks tulisan ini akan dimaknai sebagai kesenjangan hukum antara proses kepailitan dengan penegakan hukum pidana. Kepailitan sendiri adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitur pailit. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dan diawasi oleh hakim pengawas.

Setelah dinyatakan pailit, debitur kehilangan hak untuk mengurus hartanya lalu harta kekayaannya ditempatkan di bawah sita umum. Sita umum dalam kepailitan ini bertujuan mendapatkan jaminan dan pelunasan atas utang debitur kepada kreditur (Algra,1974). Di sisi lain, sita pidana dilakukan untuk kepentingan pembuktian. Beberapa kasus juga menunjukkan sita pidana bertujuan mengembalikan kerugian korban tindak pidana.

Baca juga:

Persoalannya, penyitaan pidana dalam beberapa praktik penegakan hukum juga dilakukan terhadap harta kekayaan debitur yang dalam proses pailit. Artinya, sita pidana dilakukan terhadap barang yang berada dalam sita umum oleh kurator. Contohnya terjadi dalam perkara pailit KSP Indosurya yang pengurusnya—Henry Surya dan June Indria—juga dijerat pidana (hukumonline, 8 Maret 2023).

Bagaimana kemudian norma hukum mengatur masalah penyitaan tersebut? Apakah regulasi yang mengatur sudah cukup mengatasi situasi tersebut? Jika belum, bagaimana persoalan hukumnya harus diatasi? Tiga permasalahan ini yang ingin penulis jelaskan secara ringkas.

Diskrepansi Norma

Penyitaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan menyimpan di bawah penguasaannya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pengertian itu lebih sempit dibandingkan Pasal 134 Ned.Sv (KUHAP Belanda) yang tidak hanya membatasi untuk kepentingan pembuktian, tetapi juga untuk kepentingan acara pidana.

Ketentuan mengenai penyitaan antara lain diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Isinya menjelaskan jenis-jenis benda yang dapat disita, salah satunya barang-barang milik tersangka atau terdakwa yang diperoleh dari kejahatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait